BAB I
PENDAHULUAN
Pendidikan
sebagai salah satu elemen yang sangat penting dalam mencetak generasi penerus
bangsa juga masih jauh dari yang diharapkan. Seharusnya pendidikan merupakan
hak bagi seluruh rakyat Indonesia sebagaimana tercantum dalam Pembukaan UUD R.I
Tahun 1945 bahwa tujuan Negara yaitu “mencerdaskan kehidupan bangsa”. Hal ini
memiliki konsekuensi bahwa Negara harus menyelenggarakan dan memfasilitasi
seluruh rakyat Indonesia untuk memperoleh pendidikan yang layak bagi
kehidupannya.
Pembiayaan pendidikan merupakan
komponen yang esensial dan tidak dapat terpisahkan dalam penyelenggaraan proses
belajar-mengajar. Dalam rangka pembentukan potensi sumber daya manusia (SDM),
penggunaan anggaran pendidikan yang efektif dan efisien diharapkan dapat menghasilkan
SDM yang tepat guna dan berhasil guna.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
BIAYA PENDIDIKAN
1.
Pengertian Biaya Pendidikan
Biaya pendidikan adalah seluruh pengeluaran baik yang berupa uang maupun
bukan uang sebagai ungkapan rasa tanggung jawab semua pihak (masyarakat, orang
tua, dan pemerintah) terhadap pembangunan pendidikan agar tujuan pendidikan
yang dicita-citakan tercapai secara efektif dan efisien, yang harus terus
digali dari berbagai sumber, dipelihara, dikonsolidasikan, dan ditata secara administratif
sehingga dapat digunakan secara efektif dan efisien.
Adapun biaya pendidikan yang
tercantum dalam Peraturan Pemerintah (PP) Republik Indonesia No. 48 tahun 2008
dalam pasal 3 adalah sebagai berikut[1]:
a.
Biaya
investasi satuan
Biaya investasi
satuan pendidikan meliputi biaya penyediaan sarana dan prasarana, pengembangan
sumber daya manusia, dan modal kerja tetap.
b.
Biaya
operasional, yang terdiri atas:
a)
Biaya
personalia.
Biaya personalia satuan pendidikan, baik formal maupun nonformal,
yang terdiri atas:
1)
Gaji
pokok bagi pegawai negeri sipil pusat;
2)
Tunjangan
yang melekat pada gaji bagi pegawai negeri sipil pusat;
3)
Tunjangan
struktural bagi pejabat struktural pada satuan pendidikan bagi pegawai Negeri
sipil pusat;
4)
Tunjangan
fungsional bagi pejabat fungsional pegawai negeri sipil pusat di luar guru dan
dosen;
5)
Tunjangan
fungsional bagi guru dan dosen pegawai negeri sipil pusat;
6)
Tunjangan
profesi bagi guru dan dosen pegawai negeri sipil pusat;
7)
Tunjangan
profesi bagi guru pegawai negeri sipil daerah;
8)
Tunjangan
khusus bagi guru dan dosen pegawai negeri sipil pusat yang ditugaskan di daerah
khusus oleh Pemerintah;
9)
Tunjangan
khusus bagi guru pegawai negeri sipil daerah yang ditugaskan di daerah khusus
oleh Pemerintah;
10)
Maslahat
tambahan bagi guru dan dosen pegawai negeri sipil pusat; dan
11)
Tunjangan
kehormatan bagi dosen pegawai negeri sipil pusat yang memiliki jabatan profesor
atau guru besar.
Biaya
personalia penyelenggaraan dan pengelolaan pendidikan, baik formal maupun
nonformal, oleh Pemerintah, yang terdiri atas:
1)
Gaji
pokok bagi pegawai negeri sipil pusat;
2)
Tunjangan
yang melekat pada gaji bagi pegawai negeri sipil pusat;
3)
Tunjangan
struktural bagi pejabat struktural bagi pegawai negeri sipil pusat di luar guru
dan dosen; dan
4)
Tunjangan
fungsional bagi pejabat fungsional bagi pegawai negeri sipil pusat di luar guru
dan dosen.
b)
Biaya
nonpersonalia.
c.
Bantuan
biaya pendidikan dan beasiswa.
Setiap peserta didik pada setiap satuan pendidikan berhak
mendapatkan beasiswa bagi yang berprestasi yang orang tuanya tidak mampu membiayai
pendidikannya dan mendapatkan biaya pendidikan bagi mereka yang orang tuanya
tidak mampu membiayai pendidikannya. Setiap peserta didik berkewajiban ikut
menanggung biaya penyelenggaraan pendidikan, kecuali bagi peserta didik yang
dibebaskan dari kewajiban tersebut sesuai dengan peraturan perundang-undangan
yang berlaku.[2]
Menurut PP No. 48 pasal 44 ayat 3 mengenai pendanaan bantuan biaya pendidikan
dan beasiswa sebagaimana dimaksud bersumber dari:
a.
Penyelenggara
atau satuan pendidikan yang didirikan masyarakat;
b.
Pemerintah;
c.
Pemerintah
daerah;
d.
Orang
tua/wali peserta didik;
e.
Pemangku
kepentingan di luar peserta didik dan orang tua/walinya;
f.
Bantuan
pihak asing yang tidak mengikat; dan/atau
g.
Sumber
lainnya yang sah.
Pembiayaan pendidikan merupakan
tanggung jawab bersama antara Pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat.
Hal ini sesuai amanat UUSPN Nomor 20 tahun 2003 Pasal 46 ayat (1). Pembiayaan
pendidikan merupakan hubungan saling keterkaitan yang di dalamnya terdapat
komponen-komponen yang bersifat mikro dan makro pada satuan pendidikan. Setiap
komponen memiliki fungsi yang berbeda-beda, namun memiliki tujuan akhir yang
sama, yaitu[3]:
a.
Peningkatan
potensi SDM yang berkualitas;
b.
Penyediaan
komponen-komponen sumber-sumber pembiayaan pendidikan;
c.
Penetapan
sistem dan mekanisme pengalokasian dana;
d.
Pengefektifan
dan pengefisiensian penggunaan dana;
e.
Akuntabilitas
(dapat dipertanggungjawabkan) dari aspek keberhasilan dan mudah terukur pada
setiap satuan pendidikan;
f.
Meminimalis
terjadinya permasalahan-permasalahan yang terkait dengan penggunaan pembiayaan
pendidikan.
2.
Jenis-Jenis Biaya Pendidikan
Ada beberapa jenis dan golongan
biaya pendidikan, yaitu:
1.
Biaya
langsung (direct cost)
Biaya
langsung yaitu pengeluaran uang yang secara langsung membiayai penyelenggaraan pendidikan,
pengajaran, penelitian dan pengabdian kepada masyarakat.
2.
Biaya
tidak langsung (indirect cost), biaya yang meliputi hilangnya pendapatan
peserta didik karena sedang mengikuti pendidikan (earning foregone by
students), bebasnya sewa perangkat sekolah yang tidak dipakai secara
langsung dalam proses pendidikan serta penyusutan sebagai cermin pemakaian
perangkat sekolah yang sudah lama tidak digunakan. Adapun jenis yang termasuk
dalam biaya tidak langsung, yaitu:
a.
Biaya
pribadi; biaya yang dikeluarkan keluarga untuk membiayai sekolah anaknya .
b.
Biaya
masyarakat; biaya sekolah yang dibayar oleh masyarakat.
3.
Monetary
cost, monetary cost adalah semua
bentuk pengeluaran dalam bentuk uang, baik langsung maupun tidak langsung yang
dikeluarkan untuk kegiatan pendidikan.[4]
Adapun
menurut Nanang
Fatah dalam bukunya Standar Pembiayaan Pendidikan, terdapat jenis-jenis biaya
pendidikan yang dibagi menjadi:
a. Biaya Uang vs Biaya Oportunitas
Input dari pendidikan dapat diukur dalam
bentuk uang, dapat juga diukur dari seluruh sumber daya riil yang digunakan
dalam proses pendidikan (waktu guru/dosen, waktu murid, waktu staf, buku,
material, peralatan, gedung). Meskipun tidak dapat diukur secara langsung
dengan uang, tetapi sumber daya ini memiliki nilai karena dapat digunakan di
bidang lainnya, sehingga dinamakan opportunity costs.
Konsep opportunity costs lebih
luas daripada konsep money cost/ expenditure karena tidak hanya mencakup
uang saja, tetapi pada sumber daya riil yang direpresentasikan dengan
pengeluaran uang walaupun tidak dibeli/dijual.
Opportunity costs
dari pendidikan dapat diukur sebagai biaya kepada individu (private cost),
seperti biaya pendidikan, buku, dan peralatan dan biaya kepada masyarakat (social
cost) seperti biaya gaji guru dan staf, buku, peralatan, bahan mentah, dan
gedung.
Kebanyakan analisa biaya pendidikan
dikosentrasikan pada pengeluaran uang daripada opportunity cost, padahal
keduanya sama pentingnya.[5]
b. Biaya Modal vs Biaya Operasional/Rutin
Biaya operasional meliputi semua
pengeluaran pada barang-barang konsumtif seperti buku, stationary, bahan
bakar, dan jasa lainnya yang dapat membawa keuntungan dalam jangka menengah
atau pendek.
Capital costs atau
expenditure meliputi pembelian durable assets seperti gedung atau
perlengkapan yang diharapkan memberikan keuntungan untuk jangka panjang.
Pembelian barang-barang capital/ modal ini dapat dikatakan sebagai suatu
investasi.
Baik current maupun capital
expenditure dapat diukur secara actual atau current price atau dalam
tingkat harga yang konstan/ constant purchasing power.[6]
c. Biaya Rata-Rata (Average Cost) dan Biaya Marginal
(Marginal Cost)
Analisis biaya ini merupakan analisis
biaya yang berkaitan dengan total biaya pendidikan atau dengan unit cost (biaya
per murid). Untuk menunjukkan hubungan antara biaya-biaya dengan output atau
skala operasional suatu usaha dan melihat keterkaitannya dengan biaya total
(TC), biaya rata-rata (AC) dan biaya marginal (MC) adalah dengan memperhatikan
fungsi biaya.
Perhitungan tiap-tiap fungsi biaya
dilakukan sebagai berikut:
Biaya total (Total Cost) per
tahun adalah biaya tetap ditambah biaya variabel (Verbal Cost), dan
(biaya variabel ini tergantung dengan jumlah murid), sedangkan biaya rata-rata
(AC) adalah biaya total dibagi dengan jumlah output. Maka, biaya
rata-rata akan rendah bila jumlah siswa tinggi. Biaya marginal (MC) adalah
tambahan biaya yang terjadi karena ada penambhan unit cost/ murid yang
mendaftar.
Ada tiga macam bentuk AC dan MC, yaitu:
a. Constant return to scale
(AC=MC, dimana AC sama, tidak tergantung jumlah unit);
b. Economies of scale (average cost
menurun akibat jumlah unit bertambah, sehingga MC<AC)
c. Diseconomies of scale/decreasing returns to scale
(MC>AC, sehingga AC meningkat bila jumlah unit bertambah.
Walaupun penghitungan MC di sektor
pendidikan sulit diukur secara tepat, juga kompleksitas kaitan antara ukuran
dan biaya, konsep-konsep AC dan MC serta FC dan VC sangat penting dalam
menganalisis biaya.[7]
d. Biaya Privat vs Biaya Sosial Pendidikan
Perbedaan antara biaya privat dan biaya
sosial ditentukan oleh besarnya subsisdi pemerintah terhadap pendidikan,
seperti di beberapa negara di mana pendidikan dasar dan menengah diberikan
secara gratis, sehingga direct private cost atau yang juga disebut biaya
personal hanya terbatas untuk membeli buku, seragam, dan transportasi. Jika
jenis pendidikan tersebut bersifat wajib, tidak ada private opportunity cost
dalam bentuk pendapatan yang hilang karena melanjutkan pendidikan, paling hanya
dari biaya pajak yang dikenakan pemerintah secara implisit. Hal ini umumnya
tidak berlaku untuk post compulsory education dimana earnings dan
output forgone menjadi faktor penting yang dipertimbangkan pemerintah
bila akan mengubah kebijakan minimum school-leaving age.[8]
e. Joint Cost Pendidikan
Konsep ini muncul untuk menilai
impklikasi dari berbagai produk yang dihasilkan oleh pendidikan (seperti cognitive
dan noncognitive outputs) atau oleh pendidikan tinggi (teaching dan
research) karena sulit diukur single cost untuk single
output/product. Contoh: beberapa input menghasilkan dua atau lebih output,
seperti misalnya bangunan-bangunan sekolah, administrasi pusat,
perpustakaan-perpustakaan, dan lain-lain.[9]
f. Pendekatan Kecukupan (Adequacy Approach)
Pengukuran biaya pendidikan seringkali
menitikberatkan kepada ketersediaan dana yang ada, tetapi secara bersamaan
seringkali mengabaikan adanya standar minimal untuk melakukan pelayanan
pendidikan. Konsep pendekatan kecukupan menjadi penting karena memasukkan
berbagai standar kualitas dalam perhitungan pembiayaan pendidikan, sehingga
berdasarkan berbagai tingkat kualitas pelayanan pendidikan tersebut dapat
ditunjukkan adanya variasi biaya pendidikan yang cukup ideal untuk mencapai
standar kualitas tersebut.
Perhitungan biaya pendidikan berdasarkan pendekatan
kecukupan ditentukan oleh beberapa faktor, di antaranya:
a. Besar
kecilnya sebuah institusi pendidikan;
b. Jumlah
siswa;
c. Tingkat
gaji guru;
d. Rasio
siswa dibandingkan jumlah guru;
e. Kualifikasi
guru;
f. Tingkat
pertumbuhan populasi penduduk;
g. Perubahan
dari pendapatan (revenue theory of cost).[10]
h. Konsep Produksi: Kaitan antara input dan output
dalam pendidikan.
Konsep produksi di bidang pendidikan
sebenarnya tidak berbeda dengan konsep produksi di perusahaan manufaktur. Hanya
perbedaan dari a set of inputs
(seperti waktu siswa dan guru, buku, jasa dari capital asset seperti
bangunan sekolah) dan a set of
outputs (seperti kemampuan kognitif, sosialisasi, ilmu baru). Transformasi input
menjadi output ini jelas bukan tanpa biaya, baik dari sisi pengeluaran
dalam bentuk uang (monetary expenditures) maupun kesempatan yang
dikorbankan agar transformasi ini terjadi padahal dapat dipakai untuk
alternatif penggunaan yang lain (opportunity cost: seperti pendapatan
yang seharusnya diperoleh bila siswa tidak melanjutkan pendidikan tinggi dan
biaya modal dari durable assets.[11]
B.
SUMBER-SUMBER BIAYA PENDIDIKAN DAN PENGELUARANNYA
Sumber
pembiayaan untuk sekolah terutama sekolah negeri berasal dari pemerintah yang
umumnya terdiri terdiri dari dana rutin, yaitu gaji serta biaya operasional
sekolah dan perawatan fasilitas (OPF), serta dana yang berasal dari masyarakat,
baik yang berasal dari orang tua siswa, dan sumbangan dari masyarkat luas atau
dunia usaha.
Sumber-sumber biaya pendidikan
antara lain, yaitu[12]:
1.
APBN dan APBD.
2.
Sekolah (iuran siswa).
3.
Masyarakat (sumbangan).
4.
Dunia bisnis (perusahaan).
5.
Hibah.
Nanang Fatah
juga menambahkan beliau mengatakan sumber-sumber keuangan sekolah dapat
bersumber dari : orang tua, pemerintah pusat, pemerintah daerah, swasta, dunia
usaha dan alumni.[13]
Dalam
memaksimalkan dana yang dialokasikan kepada pihak sekoalah, maka sekolah harus menyusun
rencana anggaran pendidikan se-efisien mungkin agar tidak ada penyalahgunaan
dana. Rencana pembiayaan pendidikan yakni berkaitan dengan penjabaran
pembiayaan dari program kerja tahunan sekolah atau madrasah. Pembiayaan yang
direncanakan baik penerimaan maupun pengeluarannya selama satu tahun itulah
yang dituangkan dalam Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Sekolah (RAPBS),
yang akan dibahas pada sub judul selanjutnya.[14]
Belanja sekolah sangatlah ditentukan
oleh bessarnya anggaran pendapatan atau penerimaan sekolah yang diterima dari
berbagai sumber, langsung atau tidak langsung. Pengeluaran sekolah tersebut
dapat dikatagorikan kepada beberapa hal, yaitu[15]:
a.
Pengeluaran
untuk pelaksanaan pembelajaran.
b.
Pengeluaran
untuk tata usaha sekolah.
c.
Untuk
pemeliharaan sarana dan prasarana (fasilitas) sekolah.
d.
Pengeluaran
untuk kesejahteraan pegawai.
e.
Pengeluaran
untuk administrasi.
f.
Untuk
pembinaan teknis pendidikan.
g.
Untuk
pendataan.
C.
RENCANA ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA SEKOLAH (RAPBS)
1.
Pengertian RAPBS
RAPBS (Rencana Anggaran Pendapatan
dan Belanja Sekolah) adalah anggaran terpadu antara penerimaan dan penggunaan
dana serta pengelolaannya dalam memenuhi seluruh kebutuhan sekolah selama satu
tahun pelajaran berjalan. Dimana sumber dananya berasal dari pemerintah
pusat, pemerintah daerah, masyarakat, dan orangtua/wali peserta didik. Sumber
dana perolehan dan pemakaian dana dipadukan dengan kondisi objektif kepentingan
sekolah dan penyandang dana.[16]
Rencana Anggaran Pendapatan dan
Belanja Sekolah (RAPBS) harus berdasarkan pada rencana pengembangan sekolah dan
merupakan bagian dari rencana operasional tahunan. RAPBS setidaknya meliputi
penganggaran untuk kegiatan pengajaran, materi kelas, pengembangan profesi
guru, renovasi bangunan sekolah, pemeliharaan, buku, meja dan kursi. Penyusunan
RAPBS tersebut harus melibatkan kepala sekolah, guru, komite sekolah, staf TU
dan komunitas sekolah. RAPBS perlu disusun pada setiap tahun ajaran sekolah
dengan memastikan bahwa alokasi anggaran bisa memenuhi kebutuhan sekolah secara
optimal.[17]
Acuan
sebagai dasar hukum RAPBS (Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Sekolah)
adalah sebagai berikut[18]:
a. Instruksi
bersama Menteri Pemdidikan dan Kebudayaan dengan Menteri Dalam negeri No. 29
tahun 1974/01 tentang pembentukan Badan Pembantu Penyelenggara.
b. Keputusan
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No. 293/102.F/0/1986, tentang petunjuk
pelaksanaan dan penggunaan sumbangan BP3.
c. Surat edaran
Kepala Kantor Wilayah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Jawa Barat.
d. Surat
Keputusan Kepala Kantor Wilayah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi
Jawa Barat No. 835/102/Kep/B/1994 tanggal 28 Oktober 1994.
2.
Fungsi RAPBS
Secara garis besar, kegiatan RAPBS
dilakukan agar rencana penerimaan dan pengeluaran dana sekolah/madrasah dapat dikontrol
dengan baik.[19] Adapun
secara rinci, RAPBS berfungsi untuk[20]:
a. Pedoman
pengumpulan dana dan pengeluarannya
b. Menggali
dana secara kreatif dan maksimal
c. Menggunakan
dana secara jujur dan terbuka
d. Mengembangkan
dana secara produktif
e. Mempertanggung-jawabkan
dana secara objektif
Bila sikap
ini benar-benar dilaksanakan oleh para manajer lembaga pendidikan Islam, maka
RAPBS ini akan membantu kemajuan lembaga pendidikan yang dipimpin tersebut.
Untuk itulah, maka setiap sekolah menyusun RAPBS sebagai acuan kegiatan yang
terkait dengan pendanaan. Sebenarnya, dengan adanya RAPBS ini, sekolah dapat
mengeksplorasi kemampuan dirinya dan menyeimbangkan dengan alokasi dana yang
ada. Dengan cara ini, setiap program sekolah sudah terback up dalam RAPBS
tersebut.
3.
Prinsip Penyusunan
RAPBS
Rencana
Anggaran Pendapatan dan Belanja Sekolah (RAPBS) harus berdasarkan pada rencana
pengembangan sekolah dan merupakan bagian dari rencana operasional tahunan.
RAPBS setidaknya meliputi penganggaran untuk kegiatan pengajaran, materi kelas,
pengembangan profesi guru, renovasi bangunan sekolah, pemeliharaan, buku, meja
dan kursi. Penyusunan RAPBS tersebut harus melibatkan kepala sekolah, guru,
komite sekolah, staf TU dan komunitas sekolah. RAPBS perlu disusun pada setiap
tahun ajaran sekolah dengan memastikan bahwa alokasi anggaran bisa memenuhi kebutuhan
sekolah secara optimal.[21]
Prinsip-prinsip dalam penyusunan
RAPBS adalah:
a.
RAPBS harus benar-benar difokuskan
pada peningkatan pembelajaran murid secara jujur, bertanggung jawab, dan
transparan.
b.
RAPBS harus ditulis dalam bahasa
yang sederhana dan jelas, dan dipajang di tempat terbuka di sekolah.
c.
Dalam menyusun RAPBS, sekolah sebaiknya
secara saksama memprioritaskan pembelanjaan dana sejalan dengan rencana
pengembangan sekolah.[22]
Hal penting
yang harus diperhatikan dalam penyusunan RAPBS adalah harus adanya pemenuhan
biaya yang diperlukan untuk melaksanakan kegiatan sekolah/madrasah setiap
tahunnya. RAPBS ini pun dituntut mencakup semua anggaran kegiatan rutin dan
biaya penting lainnya, agar kesemuanya itu dapat dilaksanakan satu tahun.
4.
Langkah-langkah
Penyusunan RAPBS
Suatu hal yang perlu diperhatikan
dalam penyusunan RAPBS adalah harus menerapkan prinsip anggaran berimbang,
artinya rencana pendapatan dan pengeluaran harus berimbang diupayakan tidak
terjadi anggaran pendapatan minus. Dengan anggaran berimbang tersebut maka
kehidupan sekolah akan menjadi solid dan benar-benar kokoh dalam hal keuangan,
maka sentralisasi pengelolaan keuangan perlu difokuskan pada bendaharawan
sekolah, dalam rangka untuk mempermudah pertanggung jawaban keuangan.[23]
Penyusunannya hendaknya mengikuti
langkah-langkah sebagai berikut[24]:
a.
Menginventarisasi rencana yang akan
dilaksanakan.
b.
Menyusun rencana berdasarkan skala
prioritas pelaksanaannya.
c.
Menentukan program kerja dan rincian
program.
d.
Menetapkan kebutuhan untuk
pelaksanaan rincian program.
e.
Menghitung dana yang dibutuhkan.
f.
Menentukan sumber dana untuk
membiayai rencana
Rencana
tersebut setelah dibahas dengan pengurus dan komite sekolah, maka selanjutnya
ditetapkan sebagai anggaran pendapatan dan belanja sekolah (APBS). Pada setiap
anggaran yang disusun perlu dijelaskan apakah rencana anggaran yang akan
dilaksanakan merupakan hal baru atau kelanjutan atas kegiatan yang telah
dilaksanakan dalam periode sebelumnya dengan menyebut sumber dana sebelumnya.[25]
Dalam setiap anggaran yang disusun
untuk kegiatan-kegiatan di lingkungan sekolah, paling tidak harus memuat 6 hal
atau informasi sebagai beriku
a.
Informasi rencana kegiatan: sasaran,
uraian rencana kegiatan, penanggung jawab, rsencana baru atau lanjutan.
b.
Uraian kegiatan program, program
kerja, rincian program.
c.
Informasi kebutuhan: barang/ jasa
yang dibutuhkan, volume kebutuhan.
d.
Data kebutuhan harga satuan, jumlah
biaya yang dibutuhkan untuk seluruh volume kebutuhan.
e.
Jumlah anggaran: jumlah anggaran
untuk masing-masing rincian program, program, rencana kegiatan, dan total
anggaran untuk seluruh rencana kegiatan.
f.
Sumber dana: total sumber dana,
masing-masing sumber dana yang mendukung pembiayaan program.
Di dalam
pembuatan rencana anggaran pendapatan belanja sekolah (RAPBS) melibakan
beberapa unsur diantaranya[26]:
a.
Pihak sekolah.
b.
Orang tua murid dalam wadah Komite Sekolah.
c.
Dinas Pendidikan Kota.
d.
Pemerintah kota.
Semua komponen ini adalah
pihak-pihak yang terkait langsung dengan operasional sekolah sesuai
kependudukan dan kapasitas.
Adapun langkah-langkah yang harus
ditempuh oleh sekolah dalam menyusun RAPBS adalah[27]:
a.
RAPBS disusun oleh sekolah dan
pengurus BP3/komite sekolah.
b.
Setelah selesai dirumuskan
selanjutnya RAPBS dikirim ke kantor Departemen Pendidikan nasional kota atau
Dinas Pendidikan Kota untuk mendapatkan persetujuan.
c.
Oleh pemerintah RAPBS diteliti di
Kandep Diknas oleh pengawas dan kasubag keuangan serta kasubag PRP, serta subag
yang relefan, kemudian di kirim kembali ke sekolah setelah mendapat revisi.
d.
Sekolah mengadakan rapat dengan BP3
atau komite sekolah.
e.
RAPBS disetujui oleh sekolah setelah
mendapat kesepakatan dalam rapat anggota BP3 atau komite sekolah.
f.
RAPBS berubah menjadi APBS setelah
disyahkan oleh Kepala Kandep Diknas kota atau Kepala Dinas Pendidikan kota.
g.
APBS yang sudah sisyahkan dikirim
kembali ke sekolah dan APBS ini yang dijadikan acuan pembiayaan sekolah.
h.
Rekapitulasi ini dikirim ke wali
kota.
i.
Rekapitulasi di kirim ke Diknas
provinsi.
D.
BANTUAN
OPERASIONAL SEKOLAH (BOS)
1.
Pengertian
Bantuan Operasional Sekolah (BOS)
Sesuai dengan undang-undang (UU) nomor 20 tahun 2003 tentang system pendidikan
nasional, setiap warga negara yang berusia 7-15 tahun wajib mengikuti
pendidikan dasar. Pasal 34 ayat 2 UU tersebut menyebutkan bahwa pemerintah dan
pemerintah daerah menjamin terselenggaranya wjib belajar minimal pada jenjang
pendidikan dasar tanpa memungut baiaya. Selanjutnya pada pasal 34 ayat 3 UU itu
menyebutkan bahwa wajib belajar merupakan. Tanggung jawab Negara yang
diselenggarakan oleh lembaga pendidikan pemerintah, pemerintah daerah, dan
masyarakat konsekuensi dari amanat UU tersebut adalah pemerintah dan pemerintah
daerah wajib memberikan layanan pendidikan bagi seluruh peserta didik pasa
tingkat dasar (SD dan MI, SMP dan MTs) serta satuan pendikan lain yang
sederajat.[28]
BOS adalah program
pemerintah yang pada dasarnya adalah untuk penyediaan pendanaan biaya
oprasional nonoprasional bagi satuan pendidikan dasar sebagai plaksana program
wajib belajar, yang secara umum bertujuan untuk meringankan beban masyarakat
terhadap pembiayaan pendidikan dalam rangka wajib belajar Sembilan tahun yang bermutu.
Secara khusus program BOS bertujuan untuk:
a.
Membebaskan pungutan
bagi seluruh siswa SD negeri dan SMP negeri terhadap biaya operasi sekolah,
kecuali pada rintisan sekolah bertaraf internasional (RSBI) dan sekolah
bertaraf internasional (SBI).
b.
Membebaskan pungutan
seluruh siswa miskin dari seluruh pungutan dalam bentuka apapun, di sekolah
negeri maupun swasta, dan
c.
Meringankan beban biaya
operasi sekolah bagi siswa di sekolah swasta.
Dengan adanya program BOS yang terkait pendidikan dasar Sembilan tahun,
setiap pengelola program pendidikan harus harus memperhatikan hal-hal
berikut:
a. BOS harus menjadi sarana penting untuk menigkatkan akses dan mutu
pendidikan dasar Sembilan tahun yang bermutu.
b.
Dengan adanya BOS,
tidak boleh ada siswa miskin yang putus sekolah karena tidak mampu membayar
iuran atau pungutan yang dilakukan oleh sekolah.
c.
Anak lulusan sekolah
setingkat SD , harus di upayakan kelangsungan pendidikannya kesekolah setingkat
SMP. Tidak boleh ada tamatan SD atau
setara yang tidak dapat melanjutkan pendidikan agar dapat diajak kembali ke
bangku sekolah.
d.
Kepala sekolah mencari
dan mengajak siswa SD atau setara yang akan lulus dan yang berpotensi tidak
melanjutkan sekolah untuk ditampung di SMP atau setara. Demikian juga bila
ditemukan ada anak putus sekolah yang masih berminat melanjutkan pendidikan
agar dapat diajak kembali ke bangku sekolah.
e.
Kepala sekolah harus
mengelola dana BOS secara transparan dan akuntabel.
f. BOS tidak menghalangi peserta didik, orang tua yang mampu atau walinya
memberikan sumbangan sukarela yang tidak mengikat kepada sekolah. Sumbangan
sukarela dari orang tua siswa harus bersifat ikhlas, tidak terikat waktu, dan
tidak ditetapkan jumlahnya serta tidak ada intimidasi bagi yang tidak
menyumbang.
PP Nomor 48 Tahun 2008
juga menyebutkan bahwa dalam rangka penyelenggaraan pendidikan dasar
Sembilan tahun, tanggung jawab
pemerintah pusat dan pemerintah daerah terkait biaya satuan pendidiikan adalah
sebagai berikut[29]:
a. Pemerintah pusat dan pemerintah daerah bertanggung jawab terhadap pendanaan
biaya investasi dan biaya operasi satuan pendidikan bagi sekolah yang di
selenggarakan oleh pemerintah pusat atau pemerintah daerah sampai terpenuhinya
Standar Nasional Pendidikan.
b. Sekolah yang diselenggarakan oleh pemerintah pusat atau pemerintah daerah
menjadi bertaraf internasional, selain dari pemerintah pusat dan pemerintah
daerah , pendanaan tambahan juga dapat bersumber dari masyarakat, bantuan pihak
asing yang tidak mengikat atau dari masyarakat, bantuan pihak asing yang tidak
mengikat, dan sumber lain yang tidak sah.
c. Pemerintah pusat dan pemerintah daerah dapat membantu pendanaan biaya non
personalia sekolah yang diselenggarakan oleh masyarakat.
2.
Mekanisme Penyaluran Dana Bos
Mekanisme penyaluran
dana BOS misalnya yang diterapkan sejak tahun 2005 sampai dengan 2010 dapat
digambarkan dalam bagan berikut.
penyaluran dana bos
tahun 2005 sampai dengan tahun 2010, peran Dinas provinsi sangat dominan. Dana
BOS dialokasikan dalam DIPA provinsi melalui dana dekonsentrasi. Mekanisme yang
demikian memiliki keuntungan dari segi kecepatan penyaluran dan adanya
keseragaman antara sekolah negri denga sekolah swasta karena dana sama-sama
ditransfer langsung kesekolah-sekolah penerima BOS dari pengelola dana
dekonsentrasi BOS didinas pendidikan provinsi. Namin demikan, mekanisme ini
dianggap belum berjalan dengan amanat PP Nmor 38 Tahun 2007 tentang pembagian
urusan pemerintah antara pemerintah, pemerintah daerah provinsi, dan pemerintah
daerah kabupaten/kota yang antara lain menyatakan bahwa pemerintah daerah
kabupeten/kota menyelenggarakan urusan yang wajib diselenggarakan oleh
pemerintah daerah yang terkait dengan pelayanan dasar (basic services) bagi
masyarakat, termasuk didalam nya pendidikan dasar.
Dapat dipahami bahwa peran pemerintah kabupaten atau kota
sangat lah minim. Mekanisme ini juga menujukkan kurangnya sinkronisasi program
BOS dengan program pemerintah kabupaten atau kota karena kurangnya keterlibatan
pemerintah kabupaten atau kota. Namun demikian, dalam pelaksanaannya pengajuan
ususlan sekolah beserta jumlah penerima tetap melibatkan dinas pendidikan
kabupaten/kota.
Selain dana BOS yang
dananya berasal dari APBN, melalui anggaran kementerian Pendidikan Nasional
maupun melalui dana transfer, terdapat juga dana BOS Daerah (BOSDA) yang akan
lebih banyak di bahas dalam tulisan ini adalah BOSDA propinsi. BOSDA adalah
program bantuan operasional sekolah yang di berikan oleh pemerintah provinsi
kepada SD dan SMP yang secara umum bertujuan memenuhi kekurangan dari
melengkapi BOS yang dialokasikan oleh pemerintah pusat melalui anggaran
pendapatan dan belanja negara dan di tujukan untuk menjamin penyelenggaraan
pendidikan dasar sembilan tahun pemerintah provinsi memberikan dana BOSDA
kepada pemerintah kabupaten/kota pada alokasi belanja hibah yang akan masuk
dalam APBD kabupaten/kota yang selanjutnya pemerintah kabupaten/kota akan
menyalurkan dana BOSDA tersebut kepada satuan pendidikan (sekolah) penerima
BOSDA mengikuti mekanisme penyauran dana BOS.
3.
Permasalahan Dana Bos
Walaupun dana BOS ini sudah dilaksanakan sejak tahun 2005, namun dalam
pelaksanaannya masih terdapat permasalahan-permasalahan yang harus terus
diperbaiki. Permasalahan umum yang terjadi misalnya dalam kurun waktu
penyaluran tahun 2011 antara lain adalah sebagai berikut:
a.
Masalah Penganggaran
Yang Mengakibatkan Terlambatnya penyaluran
Sebagaimana telah diuraikan sebelimnya, untuk penyaluran dana Bos
setelah 2011 terjadi perusahaan mekanisme yang pada tahun sebelumnya dana BOS
ini merupakan anggaran kementerian
pendidikan nasional yang dilaksanakan oleh Dinas pendididkan provinsi melalui
dana dekonsentrasi sekarang menjadi dana transfer dari APBN kepada APBD kabupaten/kota. Dengan adanya
perubahan ini, pemerintah kabupaten/kota
harus mengaanggarkan adanya penerimaan atas dana transfer tersebut serta
mengaanggarkan adanya belanja hibah di SKPKD untuk sekolah swasta, dan belanja
langsung di SKPKD (dinas Pendidikan kabupaten/kota) untuk kegiatan penyaluaran
dana BOS kepada sekolah negeri.
Peraturan menteri
keuangan yang menempatkan alokasi sementara bantuan operasional sekolah bagi
pemerintah kabupaten/kota yang di tebitkan pada tanggal 27 Desember
2010,sedangkan pada tanggal tersebut APBD tahun 2011 telah selesai di bahas dan
di susun, sehingga alokasi dana BOS ini belum tercantum dalam APBD tahun
2011.Untuk menjembatani hambatan
tersebut, menteri dalam negeri dan menteri pendidikan nasional dalam
menerbitkan surat edaran (SE) bersama pada tanggal 28 Desember 2010 tentang
pedoman pengelolaan dana BOS tahun anggaran 2011 merupakan pengalihan dari
anggaran kementerian pendidikan nasional menjadi dana transfer ke daerah,
sehingga memerlukan persiapan yang memadai baik oleh pemerintah pusat maupun
pemerintah daerah.
Pemerintah terkait dengan
perangkat peraturan perundang-undangan, sedangkan pemerintah daerah terkait
dengan pengelolaan dana BOS dalam APBD dan kesiapan SKPD pendidikan dan sekolah
dalam melaksanakan kegiatan tersebut. Hal ini mengingat penyelenggaraan
pendidikan dasar, yang merupakan program/ kegiatan pelayanan dasar masyarakat,
harus tetap di laksanakan tepat waktu dan apabila di tunda akan menimbulkan
kerugian yang besar bagi pemerintah daerah dan masyarakat, berdasarkan hal
tersebut, maka pengeluaran dana BOS dapat di kategori sebagai keperluan
mendesak, sebagaimana diatur dalam pasal 81 ayat (2) PP Nomor 58 Tahun 2005 [4]
dan pasal 162 permendagri nomor 13 Tahun 2006. Bagi daerah yang telah
menetapkan peraturan daerah tentang APBD tahun anggaran 2011 dan belum
menganggarkan dana BOS yang bersumber dari transfer pemerintah, maka daerah
dapat melaksanakan kegiatan BOS mendahului penetapan peraturan daerah tentang
perubahan APBD tahun anggaran 2011.
Walaupun sudah ada SE
bersama tersebut, namun pada kenyataannya, banyak daerah yang tidak berani
untuk melaksanakanya sehingga penyaluran dana BOS mengalami penundaan sampai
dengan di tebitkannya perda tentang perubahan APBD. Masalah lain yang berkaitan
dengan masalah penganggaran adalah persoalan teknis akuntansi. Sebagai contoh,
pemerintah provinsi DIY pada tahun anggaran 2011 telah menganggarkan adanya
dana BOSDA.
Anggaran BOSDA semula
dianggarkan pada SKPD dinas pendidikan, pemuda, dan olah raga provinsi DIY
sebagai belanja langsung pada SKPD tersebut. Penganggaran BOSDA sebagai belanja
langsung pada Dinas Pendidikan, Pemuda, pemuda, dan olahraga tersebut dianggap
menyalahi ketentuan SAP. Seharusnya dana BOSDA tersebut dianggarkan
sebagai belanja tidak langsung (belanja
hibah) pada SKPKD karena dana tersebut akan ditransfer ke APBD kabupaten/kota
sebagai belanja hibah. Akibatnya dana BOSDA provinsi ini sampai dengan akhir
september 2011 belum dapat di cairkan. Sebenarnya dalam menghadapi kendala ini,
Gubernur DIY telah menerbitkan peraturan gubernur yang isinya antara pemuda,
dan olahraga provinsi DIY menjadi belanja tidak langsung di SKPKD/DPPKA
Provinsi DIY. Dalam peraturan gubernur tersebut juga dinyatakan bahwa revisi
ini dapat langsung di laksanakan mendahului terbitnya perda tentang perubahan
APBD.
b.
Masalah Besaran Dana
Bos Persiswa
Dana BOS merupakan dana bantuan operasional kepada satuan
pendidikan (sekolah) yang besarannya dihitung berdasarkan jumlah siswa yang ada
disekolah tersebut dengan menggunakan Standar Biaya Operasional non personalia
yang ditetapkan dengan peraturan mentri pendidikan Nasional. Sesuai dengan
Pemendikmas Nomor 69 Tahun 2009 tentang standar biaya operasi non personalia
tahun 2009 untuk sekolah dasar atau madrasah ibtidaiyah (SD/MI). sekolah
menengah pertama atau Tsanawiyah (SMP/MTS), sekolah menengah atas atau madrasah
aliyah (SMA/MA) , sekolah menengah kejuruan
(SMK), sekolah dasar luar biasa (SDLB) , sekolah menegah pertama luar
biasa (SMPLB), sekolah menengah atas luar biasa (SMALB) , besarnya biaya
standar operasional non personalia persiswa dalam satu tahun adalah sebesar
Rp,580.000 untuk SD / MI dan Rp.710.000 untuk SMP/MTS. Sedangkan alokasi dana
BOS yang disediakan APBN adalah sebesar RP.397.000 untuk SD/MI dan Rp.570.000
untuk SMP/MTs. Kekurangannya dapat
ditutup dengan dana BOSDA.
Sasaran program BOS adalah semua sekolah SD dan SMP termasuk
sekolah menengah terbuka (SMPT) dan tempat kegiatan belajar mandiri (TKBM) yang
diselenggarakan oleh masyarakat , baik negeri maupun swasta diseluruh provinsi
di Indonesia. Dengan kata lain program dana BOS pada dasarnya diberikan kepada semua sekolah tanpa mempertimbangkan
apakah sekolah tersebut merupakan sekolah “mahal” atau sekolah dengan pemenuhan
standar yang sangat minimal.
Penyeragaman besaran dana BOS per siswa ini dalam penganggaran
memang sangat memudahkan perhitungannya. Namun, hal ini dirasakan kurang adil
karena biaya operasional di masing-masing sekolah ditiap wilayah berbeda ,
padahal dengan adanya dana BOS ini, sekolah dilarang melakukan pungutan kepada
peserta didik.
Dengan penyeragaman ini, ternyata masih terdapat sekolah yang
melakukan pungutan kepada peserta didik dengan alasan kebutuhan biaya
operasional yang ditetapkan. Besaran biaya untuk daerah yang sulit akses
transportasinya tentu akan berbeda dengan kebutuhan biaya untuk sekolah di daerah
yang mudah di akses. Sekolah yang sebelum adanya dana BOS telah menerapkan
standar pendidikan yang cukup tinggi (sekolah mahal) tentu memiliki biaya
standar operasinal yang lebih tinggi dari pada sekolah yang menerapkan standar
pendidikan minimal.
Untuk itu, sebaiknya masing-masing dinas pendidikan kabupaten atau
kota menetapkan standar biaya operasionak sekolah misalnya berdasarkan regional
, berdasarkan kemampuan pemenuhan standar pendidikan nasional, atau berdasarkan
kriteria-kriteria lain yang sesuai.
c.
Masalah Penggunaan Dan
Pertanggung Jawaban Dana Bos Yang
Dianggap Kurang Transparan
Program dana bos diberikan kepada sesekolah dengan menerapkan manajemen berbasis sekolah
(MBS) yaitu, dana BOS diterima oleh sekolah secara utuh, dan dikelola secara
mandiri oleh sekolah dengan melibatkan dewan guru dan komite sekolah. Jadi pada
dasarnya MBS secara umum bertujuan untuk memberdayakan sekolah melalui
pemberian kewanangan (otonomi),
pemberian fleksibilitas yang lebih basar untuk mengelola sumber daya
sekolah, dan mendorong partisipasi warga sekolah dan masyarakat untuk
meningkatkan mutu pendidikan disekolah.
Melalui program BOS, warga sekolah
diharapkan dapat lebih mengebangkan sekolah dengan memperhatikan hal-hal
berikut:
a.
Sekolah
mengelola dana secara profesianal, transparan, dan dapat dipertanggungjawabkan.
b.
BOS
harus menjadi sarana penting peningkatan pemberdayaan sekolah dalam rangka
peningkatan akses, mutu, dan manajemen sekolah.
c.
Sekolah
harus memiliki rencana jangka menengah yang disusun untuk peride empat tahunan
d.
Sekolah
harus menyusun rencana kerja tahunan (RKT). Dalam bentuk rencana kegiatan dan
anggaran sekolah (RKAS). Dana BOS merupakan bagian integral didalam RKAS
tersebut.
e.
Rencana
jangka menengah dan RKAS harus disetujuai dalam rapat dewan pendidikan setelah
memperhatikan pertimbangaan komite sekolah dan disahkan oleh dinas pendidikan
kabupaten/kota (untuk sekolah negri) atau yayasan (untuk sekolah swasta).
Dalam
pelaksanaan nya, terdapat berbagai permasalahan dalam pengelolaan dan
pertanggung jawaban dana BOS, seperti sekolah tidak mencantumkan penerimaan
BOS, sekolah tidak menggratiskan biaya operasional sekolah pada perserta didiknya, dan dana BOS
digunakan sesuai dengan alokasi awalnya. Selain itu, masalah lain adalah
kurangnya pelibatan komite sekolah sebagai alat kontrol dalam pengelolaan dana
BOS. Komite sekolah yang seharusnya dibentuk dengan unsur-unsur dari
stakeholder sekolah yaitu guru orangtua murid, pada kenyataannya banyak orang
tua murid yang tidak mengetahui
keberadaan dan komisi komite sekolah. Ketidak tahuan ini bisa merupakan sikap
apatis dari pihak kepala sekolah dan pejabat sekolah lainnya. Akibatnya
pertanggungjawaban penggunaan dana BOS menjadi tidak transparan sehingga
berpotensi terjadi penyelewengan.
Pemerintah pusat melihat banyaknyan
daerah-daerah yang terlambat menyalurkan
dana BOS pada tahun 2011, sehingga melalui kementrian pendidikan Nasional
kembali mengubah mekanisme penyaluran dana Bantuan Operasianal Sekolah (BOS)
untuk tahun 2012, yaitu melalui pemerintah provinsi dan tidak lagi melalui
kabupaten atau kota. Sistem/ mekanisme penyaluran dana BOS tahun 2011 dianggap
tidak dapat berjalan dengan baik. Kebijakan dengan asas desentralisasi tersebut
dianggap rumit birokrasinya terutama saat penyaluran kesekolah negri. Melalui
mekanisme baru ini diharpkan penyaluran dana BOS akan lebih cepat dimana dana
BOS ditransfer oleh kemetrian keuangan (KEMENKU) dari kas umum negara (KUN)
kkas umum daerah (KUD) provinsi.
Peda tahun 2012 terjadi kenaikan besarnya
biaya satuan BOS yang diterima oleh sekolah termasuk untuk BOS buku, dihitung
berdasarkan jumlah siswa dengan ketentuan umtuk SD/SDLB sebesar Rp.580.000/
siswa/ tahun dan untuk SMP/SMPLB/ SMPT sebesar Rp. 710.000/ siswa/ tahun atau
sama dengan besarnya operasional nonpersonalia sesuai Permendiknas tahun 2009.
Dana BOS akan diberikan selama 12bulan untuk periode januari sampai dengan
desember 2012, yaitu pada semester 2 tahun pelajaran 2011/2012 dan semester 1
tahun pelajaran 2012/2013. Penyaluran dana dilakukan setiap periode 3 bulanan,
yaitu peroide Januari – Maret, April – Juni, Juli – September, dan Oktober -
Desember.
Berdasarkan
pemeritaan dimedia masa, dana BOS tahun 2012 untuk periode Januari – Maret
2012, dibeberapa daerah telah dilakukan penyaluran pada awal Januari 2012.
Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta merupakan salah satu daerah yang paling
awal menyalurkan dana BOS tersebut. Ini merupakan hal yang baik, dan semoga
pelaksanaan penyaluran dana BOS kedepan menjadi lancar dan makin baik.
BAB
III
PENUTUP
Biaya pendidikan adalah
seluruh pengeluaran baik yang berupa uang maupun bukan uang sebagai ungkapan
rasa tanggung jawab semua pihak (masyarakat, orang tua, dan pemerintah)
terhadap pembangunan pendidikan agar tujuan pendidikan yang dicita-citakan
tercapai secara efektif dan efisien, yang harus terus digali dari berbagai
sumber, dipelihara, dikonsolidasikan, dan ditata secara administratif.
Adapun jenis-jenis biaya
pendidikan:
1. Biaya Uang vs Biaya Oportunitas
2. Biaya Modal vs Biaya Operasional/Rutin
3. Biaya Rata-Rata (Average Cost) dan Biaya Marginal
(Marginal Cost)
4. Biaya Privat vc Biaya Sosial Pendidikan
5. Joint Cost Pendidikan
6. Pendekatan Kecukupan (Adequacy Approach)
7. Konsep Produksi: Kaitan antara input dan output
dalam pendidikan
RAPBS (Rencana Anggaran Pendapatan
dan Belanja Sekolah) adalah anggaran terpadu antara penerimaan dan penggunaan
dana serta pengelolaannya dalam memenuhi seluruh kebutuhan sekolah selama satu
tahun pelajaran berjalan. Sumber dananya berasal dari pemerintah pusat,
pemerintah daerah, masyarakat, dan orangtua/wali peserta didik.
RAPBS setidaknya meliputi
penganggaran untuk kegiatan pengajaran, materi kelas, pengembangan profesi
guru, renovasi bangunan sekolah, pemeliharaan, buku, meja dan kursi. Penyusunan
RAPBS harus melibatkan kepala sekolah, guru, komite sekolah, staf TU dan komunitas
sekolah.
Kegiatan RAPBS dilakukan agar
rencana penerimaan dan pengeluaran dana sekolah/madrasah dapat dikontrol dengan
baik. Adapun secara rinci, RAPBS berfungsi untuk: pedoman pengumpulan dana dan
pengeluarannya, menggali dana secara kreatif dan maksimal, menggunakan dana
secara jujur dan terbuka, mengembangkan dana secara produktif,
mempertanggung-jawabkan dana secara objektif
Mekanisme pencairan BOS
pada awalnya berasal dari pusat, tapi sejak pertengahan 2010 dana BOS
ditransfer ke pemerintah daerah yang akan menjadi sumber APBD. Shingga saat ni
sekolah-sekolah tidak menerima langsung dari rekening pusat, tapi bersumber
pada APBD. Penggunaan dana BOS diperuntukan bagi seluruh biaya operasional ruti
sekolah, sedangkan untuk biaya pembangunan tidak berasal dari BOS.
Penyalahgunaan
pengelolaan dana BOS banyak ditemukan di beberapa daerah, kasus yang paling
sering adalah penggelembungan jumlah siswa, penyalahgunan dana, dan bahkan data
dan pelaporan fiktif sering menghiasi surat kabar tentang penyelewengan dana
BOS. Hal ini bisa juga dipicu oleh system yang berjalan, lemahnya pengaawasan
dan partisipasi public yang kurang, sehingga menyebabkan tujuan dari adanya
subsidi BOS sendiri menjadi kurang dan cenderung berkurang kebermanfaataannya.
Untuk itu diperlukan tindakan preventif dari setiap lembaga dan elemen dari
bangsa ini untuk kemajuan dan pengefektifan pengelolaan dana BOS. Diantaranya
solusi yang kami tawarkan adalah kembali mengkaji kebijakan yang sudah
ditetapkan, karena satu kebijakan tidak mungkin langsung cocok pada tataran
implemntasi. Selain itu, kebijakan dana berkeadilan juga bisa menjadi salah
satu solusi dari permasalahan, karena kondisi orang tua dan siswa serta sekolah
tidak semua sama, sehingga yang mendapatan subsidi adalah orang-orang yang
benar-benar layak mendapatkan subsidi.
Pengawasan yang lebih
efektif dan efisien juga mendukung pencapaian tujuan dana BOS. Solusi lain yang
bisa dicoba adalah pendampingan oleh ahli yang kompeten bisa mempermudah
pengelolaan dan efektifitas penggunaan dana BOS, mahasiswa Administrasi
Pendidikan, serta ahli dalam bidang manajerial pendidikan bisa menjadi
pendamping utama dan ikut membantu dalam mengarahkan, hal ini dikarenakan
kurangnya tenaga profesioanal terkait administrasi dan manajemen sekolah yang
ada di sekolah.
DAFTAR PUSTAKA
Abuddinata. 2003.
Manajemen Pendidik. Bogor: Kencana.
Domai, Tjahjanulin.
2010. Manajemen Keuangan Publik. Malang: Universitas Barawijaya Press.
Fatah, Nanang. 2004.
Landasan Manajemen Pendidikan. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Fatah, Nanang. 2012.
Standar Pembiayaan Pendidikan. Bandung: Remaja Rosdakarya.
P, Ferdi W.
2013. “Pembiayaan Pendidikan: Suatu Kajian Teoritis” Jurnal Pendidikan dan
Kebudayaan. Vol. 19. No. 4.
Peraturan
Pemerintah Republik Indonesia, tentang Pendanaan Pendidikan No. 48 Tahun 2008
Qomar, Mujamil.
Tt. Manajemen Pendidikan Islam. Jakarta: Erlangga.
Suhardan,
Dadang. 2012. Ekonomi dan Pembiayaan Pendidikan. Bandung: Alfabeta.
Syafaruddin. 2005.
Manajemen Lembaga Pendidikan Islam. Jakarta: Ciputat Press.
Tim Dosen
Administrasi Pendidikan Universitas Pendidikan Indonesia. 2012. Manajemen
Pendidikan. Bandung: Alfabeta.
Undang-undang
tentang Sistem Pendidikan Nasional No. 20 tahun 2003.
[1] Peraturan
Pemerintah No. 48 Tahun 2008, Bab I pasal 3.
[2] UU No. 20
tahun 2003, Bab V pasal 12 ayat 1.
[3] Ferdi W. P,
“Pembiayaan Pendidikan: Suatu Kajian Teoritis” Jurnal Pendidikan dan
Kebudayaan, Vol. 19, No. 4, 2013, hlm. 567.
[4] Ibid., hlm.
570.
[5] Nanang Fatah, Standar
Pembiayaan Pendidikan, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2012), hlm. 9 – 10.
[6] Ibid.
[7] Ibid.,
hlm. 12.
[8] Ibid.
[9] Ibid.
[10] Ibid.,
hlm.13.
[11] Ibid.,
hlm. 14.
[12] Dadang
Suhardan, Ekonomi dan Pembiayaan Pendidikan, (Bandung: Alfabeta, 2012), hlm. 23.
[13] Nanang Fatah, Standard
Pembiayaan Pendidikan, (Bandung: Remaja, 2012), hlm. 41.
[14] Syafaruddin, Manajemen Lembaga Pendidikan Islam, (Jakarta:
Ciputat Press, 2005), hlm. 267.
[15] Ibid., hlm.
270.
[16]Abuddinata,
Manajemen Pendidik, (Bogor: Kencana, 2003), hlm. 102.
[18]Tim
Dosen Administrasi Pendidikan Universitas Pendidikan Indonesia, Manajemen
Pendidikan, (Bandung: Alfabeta, 2012), hlm. 256.
[20]Mujamil
Qomar, Manajemen Pendidikan Islam, (Jakarta: Erlangga, tt), hlm. 170.
[21]Tim
Dosen Administrasi Pendidikan Universitas Pendidikan Indonesia, Manajemen
Pendidikan, (Bandung: Alfabeta, 2012), hlm. 257.
[23]Nanang
Fattah, Landasan Manajemen Pendidikan, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya,
2004), hlm. 124.
[24]Ibid.
[25]Ibid.
[26]Nanang
Fattah, op. cit., hlm. 127.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar