Senin, 23 Januari 2017

ANAK YANG BERHADAPAN DENGAN HUKUM (ABH)





 


Anak yang berhadapan dengan hukum (ABH) dilakukan pengalihan pemberian hukuman penjara dengan mengadakan pembinaan bagi anak yang bermasalah. Penegak hukum dalam menangani anak yang bermasalah dengan hukum senantiasa harus memperhatikan kondisi anak yang berbeda dari orang dewasa. Emosi dasar anak sebagai pribadi yang masih labil, masa depan anak sebagai aset bangsa, dan kedudukan anak di masyarakat yang masih membutuhkan perlindungan dapat dijadikan dasar untuk mencari suatu solusi alternatif bagaimana menghindarkan anak dari suatu sistem peradilan pidana formal, penempatan anak dalam penjara, dan stigmatisasi terhadap kedudukan anak sebagai nara pidana.[1]
Pengertian anak bermasalah menurut Paulus Hadisuprapto yang dikutip Sidiq Fatonah dalam jurnal Konsep penanganan anak bermasalah menurut Alexander Shuterland Neill dan implikasinya terhadap pendidikan Islam menyebutkan bahwa anak bermasalah adalah perilaku anak yang melanggar hukum dan apabila dilakukan orang dewasa termasuk kategori kejahatan, termasuk perilaku pelanggaran anak terhadap ketentuan perundang-undangan yang diperuntukkan bagi mereka.[2] Menurut Yohana Yambise anak yang bermasalah khususnya anak yang berhadapan dengan hukum (ABH) bahwa ABH harus dibawa kembali ke jalan yang benar jika bersalah, melalui pembinaan bukan penjara.

Seorang anak sesuai sifatnya masih memiliki daya nalar dan daya emosinal yang belum cukup baik untuk membedakan hal yang baik dan buruk.[3] Tindak pidana yang dilakukan oleh anak pada umumnya adalah merupakan proses meniru atau terpengaruh oleh orang dewasa. Sistem peradilan pidana formal yang pada akhirnya menempatkan anak dalam status narapidana membawa konsekuensi yang cukup besar dalam hal tumbuh kembang anak. Proses penghukuman yang diberikan kepada anak lewat sistem peradilan pidana formal dengan memasukkan anak ke dalam penjara ternyata tidak berhasil menjadikan anak jera dan menjadi pribadi yang lebih baik untuk menunjang proses tumbuh-kembangnya. Penjara justru seringkali membuat anak semakin profesional dalam melakukan tindak kejahatan.[4]
Maka, ada beberapa faktor penyebab anak berhadapan dengan hukum (ABH) dikelompokkan ke dalam faktor internal yang mencakup:
a.    Keterbatasan kondisi ekonomi keluarga.
b.    Keluarga tidak harmonis (broken home) & tidak ada perhatian dari orang tua, baik karena orang tua sibuk bekerja  ataupun bekerja di luar negeri sebagai TKI. Orang tua/lingkungan keluarga merupakan salah satu faktor penyebab anak mengalami ketidakstabilan dalam emosinya karena kehidupan keluarga merupakan sekolah pertama untuk anak  dalam mempelajari emosi.[5] Emosi adalah bagian dari sensasi tubuh yang sangat menonjol dan terasa dalam situasi tertentu. Menurut Stave yang dikutip Kak Dodo dan Kak Imam ada 4 emosi dasar yang selalu kita dan anak-anak alami yaitu, marah, takut, sedih, dan gembira.[6] Pada hal ini seharusnya anak bisa mendapatkan perhatian, kasih sayang dan kebutuhan-kebutuhan emosionalnya terpenuhi dari orang tua mereka, akan tetapi karena adanya guncangan dalam keluarga baik dari sisi ekonomi, perceraian, dan sibuknya orang tua, mengakibatkan anak-anak mereka merasakan kepedihan dalam emosionalnya bahkan sampai dilampiaskan dalam bentuk yang negatif dan bertentangan dengan norma agama, sosial dan moral.
c.    Lemahnya iman dan takwa pada anak maupun orang tua.
Kemudian faktor eksternal ABH antara lain: (a) Pengaruh globalisasi dan kemajuan teknologi tanpa diimbangi kesiapan mental oleh anak;  (b) Lingkungan pergaulan anak dengan teman-temannya yang kurang baik; (c) Tidak adanya lembaga atau forum curhat untuk konseling  tempat anak menuangkan isi hatinya; (d) Kurangnya fasilitas bermain anak mengakibatkan anak tidak bisa menyalurkan kreativitasnya dan kemudian mengarahkan  kegiatannya untuk melanggar hukum.[7]


[1] Okky Ruhardiyanto, “Tinjauan Kritis Terhadap Putusan Hakim Pengadilan Negeri Surakarta Tentang Anak Yang Berhadapan Dengan Hukum Menggunakan Pendekatan Restorative Justice Pada Putusan No. 01/Pid/Sus/2013/Pn.Ska”, Skripsi thesis, Universitas Muhammadiyah Surakarta, 2014, hlm. 3.
[2] Sidiq Fatonah, “Konsep Penanganan Anak Bermasalah Menurut Alexander Shuterland Neill dan Implikasinya Terhadap Pendidikan Islam”, dalam Digital Library UIN Sunan Kalijaga, Jurnal PAI Vol. 4 No. 2, 2009, (Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga, 2009), hlm. 4.
[3] Ibid.
[4] Maidin Gultom, Perlindungan Hukum Terhadap Anak dalam Sistem Peradilan Pidana Anak di Indonesia, (Bandung: Refika Aditama, 2008) hlm. 1.
[5] John Gottman & Joan DeClaire, Kiat-kiat Membesarkan Anak yang Memiliki Kecerdasan Emosional, terj. T. Hermaya, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1997), hlm. 2.
[6] Kak Dodo & Kak Imam, 27 Cara Menangani Emosi Anak, (Depok: PT Luxima Metro Media, 2008), hlm. 1.
[7] Ismi Dwi A Nurhaeni, dkk, Kajian Anak Yang Berhadapan Dengan Hukum (ABH) Di Provinsi Jawa Tengah (Studi kasus pada Kabupaten Kebumen,  Kabupaten Grobogan,  Kota Salatiga dan Kabupaten Klaten), 2010, hlm. 1.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar