Anak
yang berhadapan dengan hukum (ABH) dilakukan pengalihan pemberian hukuman
penjara dengan mengadakan pembinaan bagi anak yang bermasalah. Penegak hukum
dalam menangani anak yang bermasalah dengan hukum senantiasa harus
memperhatikan kondisi anak yang berbeda dari orang dewasa. Emosi dasar anak
sebagai pribadi yang masih labil, masa depan anak sebagai aset bangsa, dan
kedudukan anak di masyarakat yang masih membutuhkan perlindungan dapat dijadikan
dasar untuk mencari suatu solusi alternatif bagaimana menghindarkan anak dari
suatu sistem peradilan pidana formal, penempatan anak dalam penjara, dan
stigmatisasi terhadap kedudukan anak sebagai nara pidana.[1]
Pengertian
anak bermasalah menurut Paulus Hadisuprapto yang dikutip Sidiq Fatonah dalam
jurnal Konsep penanganan anak bermasalah menurut Alexander Shuterland Neill dan
implikasinya terhadap pendidikan Islam menyebutkan bahwa anak bermasalah adalah
perilaku anak yang melanggar hukum dan apabila dilakukan orang dewasa termasuk
kategori kejahatan, termasuk perilaku pelanggaran anak terhadap ketentuan
perundang-undangan yang diperuntukkan bagi mereka.[2] Menurut
Yohana Yambise anak yang bermasalah khususnya anak yang berhadapan dengan hukum
(ABH) bahwa ABH harus dibawa kembali ke jalan yang benar jika bersalah, melalui
pembinaan bukan penjara.
Seorang
anak sesuai sifatnya masih memiliki daya nalar dan daya emosinal yang belum cukup
baik untuk membedakan hal yang baik dan buruk.[3] Tindak pidana
yang dilakukan oleh anak pada umumnya adalah merupakan proses meniru atau
terpengaruh oleh orang dewasa. Sistem peradilan pidana formal yang pada
akhirnya menempatkan anak dalam status narapidana membawa konsekuensi yang
cukup besar dalam hal tumbuh kembang anak. Proses penghukuman yang diberikan
kepada anak lewat sistem peradilan pidana formal dengan memasukkan anak ke
dalam penjara ternyata tidak berhasil menjadikan anak jera dan menjadi pribadi
yang lebih baik untuk menunjang proses tumbuh-kembangnya. Penjara justru
seringkali membuat anak semakin profesional dalam melakukan tindak kejahatan.[4]
Maka, ada
beberapa faktor penyebab anak berhadapan dengan hukum (ABH) dikelompokkan ke
dalam faktor internal yang mencakup:
a.
Keterbatasan
kondisi ekonomi keluarga.
b.
Keluarga
tidak harmonis (broken home) & tidak
ada perhatian dari orang tua, baik karena orang tua sibuk bekerja ataupun bekerja di luar negeri sebagai TKI. Orang
tua/lingkungan keluarga merupakan salah satu faktor penyebab anak mengalami
ketidakstabilan dalam emosinya karena kehidupan keluarga merupakan sekolah
pertama untuk anak dalam mempelajari
emosi.[5] Emosi adalah bagian dari sensasi tubuh
yang sangat menonjol dan terasa dalam situasi tertentu. Menurut Stave yang
dikutip Kak Dodo dan Kak Imam ada 4 emosi dasar yang selalu kita dan anak-anak
alami yaitu, marah, takut, sedih, dan gembira.[6] Pada hal ini seharusnya anak bisa mendapatkan perhatian,
kasih sayang dan kebutuhan-kebutuhan emosionalnya terpenuhi dari orang tua
mereka, akan tetapi karena adanya guncangan dalam keluarga baik dari sisi
ekonomi, perceraian, dan sibuknya orang tua, mengakibatkan anak-anak mereka
merasakan kepedihan dalam emosionalnya bahkan sampai dilampiaskan dalam bentuk
yang negatif dan bertentangan dengan norma agama, sosial dan moral.
c.
Lemahnya
iman dan takwa pada anak maupun orang tua.
Kemudian faktor eksternal ABH antara lain: (a) Pengaruh
globalisasi dan kemajuan teknologi tanpa diimbangi kesiapan mental oleh
anak; (b) Lingkungan pergaulan anak
dengan teman-temannya yang kurang baik; (c) Tidak adanya lembaga atau forum
curhat untuk konseling tempat anak
menuangkan isi hatinya; (d) Kurangnya fasilitas bermain anak mengakibatkan anak
tidak bisa menyalurkan kreativitasnya dan kemudian mengarahkan kegiatannya untuk melanggar hukum.[7]
[1] Okky
Ruhardiyanto, “Tinjauan Kritis Terhadap
Putusan Hakim Pengadilan Negeri Surakarta Tentang Anak Yang Berhadapan Dengan
Hukum Menggunakan Pendekatan Restorative Justice Pada Putusan No.
01/Pid/Sus/2013/Pn.Ska”, Skripsi thesis, Universitas Muhammadiyah
Surakarta, 2014, hlm. 3.
[2] Sidiq Fatonah, “Konsep
Penanganan Anak Bermasalah Menurut Alexander Shuterland Neill dan Implikasinya
Terhadap Pendidikan Islam”, dalam Digital Library UIN Sunan Kalijaga, Jurnal
PAI Vol. 4 No. 2, 2009, (Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga, 2009), hlm. 4.
[3]
Ibid.
[4]
Maidin Gultom, Perlindungan Hukum Terhadap Anak dalam Sistem Peradilan
Pidana Anak di Indonesia, (Bandung: Refika Aditama, 2008) hlm. 1.
[5] John Gottman & Joan
DeClaire, Kiat-kiat Membesarkan Anak yang Memiliki Kecerdasan Emosional,
terj. T. Hermaya, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1997), hlm. 2.
[6] Kak Dodo & Kak Imam, 27
Cara Menangani Emosi Anak, (Depok: PT Luxima Metro Media, 2008), hlm. 1.
[7] Ismi Dwi A Nurhaeni, dkk, Kajian Anak Yang Berhadapan Dengan Hukum
(ABH) Di Provinsi Jawa Tengah (Studi kasus pada Kabupaten Kebumen, Kabupaten Grobogan, Kota Salatiga dan Kabupaten Klaten),
2010, hlm. 1.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar